PERSMA, 24 Agustus 2024 - Semarak Konsolidasi Akbar Elemen Masyarakat dan Mahasiswa dengan isu Indonesia Darurat Demokrasi pada Kamis, 22 agustus 2024 bertepat di Masjid Islamic Center membuahkan aksi yang dilatarbelakangi atas diskontinuitas antara Lembaga Legislatif dan Eksekutif di Indonesia. Berdasarkan hasil konsolidasi akbar (22/8), disepakati oleh Aliansi Peduli Demokrasi (APIRMASI) untuk menuntut DPRD Kota Tarakan sebagaimana tuntutan yang berlaku.
Adapun tuntutan aksi demonstrasi:
- Mendesak Pemerintah dan DPR RI untuk mematuhi Putusan MK nomor 60/PUU-XXI/ 2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024 tanggal 20 Agustus 2024 dalam menyusun RUU Pilkada;
- Menuntut seluruh Ketua Umum Partai Politik untuk mengedepankan, menjunjung tinggi, & menjalankan Public Virtue serta nilai2 demokrasi substansial;
- Mendesak KPU paling lambat 23 Agustus sudah mengeluarkan PKPU sesuai keputusan MK dan tuntutan masyarakat;
- Menuntut Pemerintah dan DPR RI untuk berpihak kembali kepada rakyat, dan menjalankan tugasnya sesuai sumpah jabatan.
- Mendesak DPRD Kota Tarakan ikut andil dalam penyelesaian masalah di Kota Tarakan antara lain: Pelayanan Publik PLN, Kesejahteraan Pembudidaya Rumput Laut, Kesejahteraan Petani Tambak, Eksploitasi Anak, Pengelolaan Pemeliharaan Sampah, Sengketa Lahan di Kel. Pantai Amal, Legalitas Tempat Hiburan Malam (THM).
Massa aksi dihadang oleh aparat kepolisian di sekitar jalan menuju titik lokasi aksi pada Jumat, 23 Agustus 2024 pukul 09.00 WITA, pasca pelantikan DPRD Kota Tarakan terpilih yang berlokasi di Kantor Walikota Tarakan
Terbatasnya waktu, kalahnya peralatan dan massa dengan kemasifan aparat kepolisian pada akhirnya belum memberikan hasil yang memuaskan. Ketidakhadiran seluruh anggota DPRD Kota Tarakan dalam aksi demonstrasi menimbulkan kekecewaan serta ketidakpercayaan mahasiswa terhadap perwakilan yang digadang-gadangkan sebagai lidah masyarakat Kota Tarakan.
APIRMASI berencana untuk merumuskan langkah-langkah aksi selanjutnya bersama dengan elemen masyarakat dan Lembaga Mahasiswa lainnya.
Muammar selaku Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan (BEM UBT) menjelaskan bahwa tuntutan demonstrasi ini terbagi menjadi dua skala, yaitu nasional dan lokal. Pada skala nasional, mahasiswa dominan fokus pada penolakan upaya DPR RI untuk mengabaikan putusan MK. Mereka khawatir akan terulangnya kejadian serupa seperti pada pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020, dikarenakan DPR mengesahkan UU tersebut di malam hari setelah aksi demonstrasi besar-besaran.
“Kita tidak boleh merasa menang terlalu cepat, sejarah telah membuktikan bahwa upaya-upaya untuk menciderai hukum bisa terjadi kapan saja”. Ungkap Muammar
“Harapannya, DPRD Kota Tarakan tahun ini menciptakan banyak sekali kebijakan hukum yang pro rakyat karena mereka tentunya yang memiliki hak atas merumuskan hukum guna mempermudah segala bentuk urusan masyarakat Tarakan, bukannya yang pro terhadap kepentingan partai atau golongan lainnya, dan kalau bisa terkhsus Ketua DPRD Kota Tarakan tahun ini harus lebih aktif dan turut hadir dalam setiap agenda masyarakatnya karena tahun lalu, Ketua DPRD Kota Tarakan terbilang pasif dan menghindar saat aksi demonstrasi”. Lanjut Muammar saat ditanyakan kondisi saat ini.
Pada saat berjalannya aksi, Muammar menjelaskan bahwa tindakan-tindakan yang menimbulkan kericuhan itu bisa terjadi, dikarenakan adanya blokade oleh aparat kepolisian.
“Kemudian mengapa tindakan-tindakan yang menimbulkan kericuhan itu bisa terjadi, dikarenakan adanya blokade oleh aparat kepolisian, kami tidak mebawa senjata, molotov, serta segala bentuk barang yang dapat melukai, namun justru dikarenakan adanya blokade tersebut serta tidak adanya itiakd baik dari DPRD terpilih untuk menemui kami sebagai perwakilan kami, kami hanya ingin menyampaikan bahwasannya ini adalah hal penting yang perlu kami sampaikan”.
Di akhir menjelang aksi selesai Ainulyansyah Nurdin S, selaku Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kalimantan Utara (DPD IMM Kaltara) memaparkan pelaksanaan demonstrasi berjalan tidak kondusif karena pihak kepolisian menghalangi aksi massa untuk bertemu dengan DPRD Kota Tarakan pada saat pelantikan serta ditolaknya prosesi serta prosedural yang ditawarkan kepada perwakilan DPRD yang menjumpai massa aksi.
“Proses pertama pelaksanaan demonstrasi berjalan tidak kondusif karena pihak kepolisian menghalangi aksi massa untuk bertemu dengan DPRD Kota Tarakan pada saat pelantikan, kemudian kedua, pada saat massa aksi menunggu dan hadirlah anggota DPRD, ada kekecewaan dari teman-teman aliansi bahwa seharusnya yang terlantik dari 30 orang hanya 4 orang yang menjumpai massa aksi, dan yang ketiga puncak kekecewaan kami diperparah karena keempat orang ini tidak bersedia untuk mengikuti prosedur sesuai yang disepakati aliansi, prosedur itu adalah mereka mau di sumpah di hadapan rakyat, bukan di hadapan PJ Walikota ataupun pejabat lainnya, kemudian karena ditolaknya prosesi serta prosedural yang kami tawarkan, maka aliansi melayangkan mosi tidak percaya kepada DPRD Kota Tarakan periode ini, dan secara tegas kami menganggap DPRD Kota Tarakan hari ini tidak ada”.
Akhir dari kekecewaan APIRMASI, aliansi menyepakati akan menindaklanjuti segala bentuk hal yang terjadi perhari ini.
(J)